Tuesday, October 5, 2010

Energi positif sholat untuk memperkokoh bisnis

Ladang bisnis tidak pernah jera menawarkan tantangan. Jika anda berada di arena itu, maka pertarungan dan perseteruan seperti tak pernah berhenti. Pertempuran-pertempuran yang menampilkan manuver lugas maupun licik dan jurus-jurus kasar atau menghanyutkan, mau tak mau, harus dihadapi. Makanya, penulis setuju jika para praktisi dan pakar isnis berpendapat bahwa, dalil yang dicuatkan oleh Charles Darwin, the survival of fittest, rasanya mutlak berlaku bagi siapa saja yang merambah dunia bisnis.
Bila anda tidak ingin ambruk berdarah-darah menjadi bulan-bulanan pesaing, dan tetap berdiri tegak bertahan hidup, bahkan unggul di semua lini, Anda harus mempunyai visi bisnis yang akurat, juga didasari dengan referensi kemampuan teknis yang prima. Apalagi situasi dan kondisi pergerakan bisnis yang sudah pada leel hypercompetitive menuntut Anda siap memacu adrenalin, bergerak dinamis, inovatif, improvitatif dan kreatif. Bahakan bila perlu revolusiner dalam menyajikan produk, sistem pelayanan, proses kerja internal perusahaan, yang semuanya berujung pada costumer satisfaction (kepuasan pelanggan). Dampak positifnya, tentu saja pada perolehan nilai (value) berupa grafik keuntungan yang terus membumbung.
Celakanya, tidak semua pebisnis berani menrapkan strategi yang bermaslahat. Para elite bisnis lebih banyak mengejar perolehan keuntungan belaka. Akibatnya, mereka tak segan untuk menggunakan trik-trik culas meskipun sebenarnya jelas melanggar prinsif etika dan keadilan. Konsep-konsep manajemne yang ideal, baik, dan sama-sama menguntungkan produsen dan konsumen pun direkayasa asala mneguntungkan. Pebisnis masa bodoh dengan etika, sosial kemasyarakatan, dan hukum halal dan haram. Karena itu tidak aneh bila muncul anggapan bahwa bisnis itu kejam.
Untuk menerapi perilaku-perilaku pengusaha yang sudah terinveksi virus “semau gue” dan “asal gue untung”, kiranya tidak ada jalan lain kecuali pebisnis itu sendiri menginjeksi hatinya dengan dominasi prinsip-prinsip dasar religiolitas, dengan menjalankan secara konsisten amalan-amalan ubudiyah, seperti sholat, puasa, zakat, dan naik haji. Sedangkan di luar agama islam, saya yakin bahwa kepercayaan dan agama-agama lain pasti menyajikan kaidah-kaidah hubungan vertikal dengan sang Pencipta yang pada akhirnya bertujuan pada kesehatan jiwa.
Penulis akan mendeskripsikan energi positif yang dapat memperkukuh keberlangsunagn bisnis dengan metode penyehatan hati melalui shalat. Sholat menjadi aspek terpenting dalam semua sisi kehidupan hamba yang memeluk Islam, termasuk bisnis. Selain narasi-narasi dalam shalat penuh dengan permohonan kepada Allah SWT, ternyata manfaat psikologis yang sangat bagus bagi yang istikomah dan tepat waktu dalam menjalankannya. Misalnya saja, ada unsusr kedisiplinan yang sangat esensial dalam mengendalikan pergerakan bisnis.
Sebagai pengusaha, Anda harus menempatkan kedisiplinan jika rapor bisnis Ada tidak ingin jeblok. Belum lagi kebersihan ragawia dan hati dapat dijaga. Bukankah shalat mensyaratkan wudlu? Dari masalah ber-thaharah (mensucikan diri secara lahir dan batin) ini saja sudah memancarkan energi dahsyat. Belum lahi jika shalat dijalankan secara khusyuk. Kebeningan hati dan pikiran akan diperoleh, sehingga strategi dan jurus-jurus yang diaplikasikan dalam berbisnis akan selalu bernuansa halal.
Salah satu syarat syahnya shalat harus dengan melafalkan bacaan dengan lisan atau dalam hati surah Al-Fatihah yang terdiri atas tujuah ayat. Surat ini tidak hanya memiliki kandungan makna yang supertinggi, namun akan juga dijadikan tonggak untuk berpegangan saat pergerakan bisnis Anda diempas badai persaingan dan mengalami kemunduran. Jika posisi bisnis Anda sedang moncer pun, Al-Fatihah seperti menjdai listrik yang menhantarkan daya untuk memperkukuh bahkan mempercepat laju pertumbuhan usaha.
Dari bacaan Al-Fatihah itu saja, kita diberi kewajiban oleh Allah SWT untuk selalin memuji, menyanjung, mengagungkan, dan berserah diri secara total, juga diberi keleluasaan untuk meminta. Dalam surat ini pula, Allah menonjolkan hak-Nya untuk mengabulkan segala permintaan hamba-Nya, tak terkecuali permintaan hamba-Nya yang secara kebetulan menjalani bisnis dalam menopang kehidupannya.
Energi positif yang ditimbulkan bacaan Al-Fatihah sungguh luar biasa. Di dalamnya, Allah tidak membatasi permintaan hamba-Nya. Jika dalam Al-Fatihah saja mengandung banyak manfaat bagi seorang hamba, apalagi bila kita menelaah semua item-item yang tertata dalam komposisi shalat. Jelas, sarat dengan kandungan keihsanan yang bermakna bagi kehidupan.

Andaikata Aku Bisa Memberi Lebih Banyak Lagi...

Seperti yang telah biasa dilakukan ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia, maka Rasulullah SAW mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?”. Istrinya almarhum menjawab, “Saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal”. “Apa yang dikatakannya?”. “Saya tidak tahu, ya Rasulullah SAW, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah rintihan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong.” “Bagaimana bunyinya?” desak Rasulullah SAW. Istri yang setia itu menjawab, “Suami saya mengatakan “Andaikata lebih jauh lagi…andaikata yang masih baru…..andaikata semuanya….” hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?” Rasulullah SAW tersenyum “sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru”.

Kisahnya begini. Pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata “Andaikan lebih jauh lagi”. Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih jauh lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.

Ucapan lainnya ya Rasulullah SAW?” tanya sang istri mulai tertarik. Nabi menjawab, “Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, “Andaikata yang masih baru kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi”. Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulullah SAW?” tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan, “Ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan menghembuskan nafasnya, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ‘kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.

Begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga menimpa kita sendiri. “Kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula.” (QS.Al Isra’: 7)